triage and rapid assessment

Kita tidak pernah tahu keadan emergensi apa yang akan datang kepada kita, yang kita bisa lakukan adalah memikirkan apa yang akan kita lakukan ketika keadaan emergensi itu datang. Seperti kasus letusan gunung merapi di jogja pada oktober lalu, yang merupakan letusan terbesar dalam satu abad belakangan ini, banyak korban yang berjatuhan, keadaan panik, dan akhirnya mahasiswa pun akan diturunkan dalam lapangan. sebelum melakukan terapi definitif, penting untuk melakukan seleksi korban dilapangan, untuk menentukan prioritas mana korban yang harus diselamatkan terlebih dahulu.

Triase atau Triage adalah proses seleksi korban untuk menentukan prioritas penanganan berdasar pada kriteria tertentu, sedang pananganan pra-rumah sakit adalah tahap penanganan yang dilakukan sebelum korban mencapai rumah sakit. Bebeda dengan fase pra-rumah sakit  yang mengutamakan tindakan resusitasi dan stabilisasi, pada fase rumah sakit juga direncanakan penanganan sampai tahap definitif. Ketiga proses tersebut, triase – penanganan pra-rs – penanganan intra rs, merupakan proses yang berurutan, sehingga memerlukan kesamaan konsep dan koordinasi yang baik dari para petugasnya. Sesuai dengan situasi yang dihadapi dan sumber daya yang tersedia, maka proses triase dapat dilakukan dalam beberapa metode, yang kesemuanya berdasar pada filosofi yang sama, yaitu memilih tindakan yang akan memberikan manfaat bagi kelompok terbesar korban.Walaupun demikian, setelah triase dilakukan, prinsip-prinsip pananganan korban sebagai individu tetap harus dijalankan. Penanganan pra-rumah sakit meliputi penanganan di tempat kejadian dan selama transportasi. Ditempat kejadian, pertolongan dimulai dari tindakan penyelamatan ( rescue ) dan evakuasi korban dari tempat kejadian, misalnya gedung yang runtuh, yang umumnya dilakukan oleh petugas penyelamat dan bukan oleh petugas medis. Setelah itu baru dilakukan proses triase oleh petugas medis, sebelum dialkukan tindakan lebih lanjut. Jadi selain di rumah sakit, triase juga dilakukan ditempat kejadian, sehingga diperlukan kerja sama yang baik antara petugas penyelamat dan petugas medis. Dalam triase, secara umum korban akan dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok Merah untuk korban yang memerlukan tindakan life saving, Kuning untuk kelompok yang tindakannya dapat ditunda, Hijau untuk kelompok yang tidak memerlukan tindakan emerjensi, serta Hitam untuk korban yang meninggal. Penentuan prioritas penanganan ini dilakukan oleh Pimpinan Triase atau Triage Officer, sedangkan tindakan pertolongan dilakukan oleh petugas lain dalam tim tersebut. Walaupun singkat, proses triase memerlukan waktu, sehingga kalau terlalu banyak jumlah korban yang di triase oleh seorang pimpinan triase, maka korban terakhir akan menunggu cukup lama untuk mendapat giliran diperiksa, dan hal ini bisa berakibat fatal. Oleh karena itu yang selalu menjadi pertanyaan adalah: “ Berapa jumlah korban yang bisa ditangani secara layak oleh satu tim triase?”. Jawaban yang pasti memang tidak ada, tetapi dikenal beberapa metode triase yang disesuaikan dengan situasi dan sumber daya yangtersedia, yang secara tidak langsung dapat menjadi jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu:

1.Single Triage ( SIT ).

Merupakan metode triase yang digunakan untuk korban / pasien individu. Disini proses triase bisa diartikan menentukan priorotas penanganan beberapa problem yang ada pada seorang individu sehingga dapat ditentukan problem mana yang akan di tangani lebih dahulu. Metode ini bisa dilakukan pada pasien yang dating satu persatu ke Unit Gawat Darurat ataupun Pos / Fasilitas Kesehatan di lapangan saat bencana.

2. Simple Triase and Rapid Treatment ( START ).

Metode ini dipergunakan dalam situasi dimana terdapat jumlah korban yang cukup banyak, tetapi jumlah penolong masih mencukupi walaupun untuk itu harus ada kerja ekstra. Disini seorang pimpinan triase selain menentukan prioritas juga melakukan tindakan sederhana yang secara cepat, yang dapat merubah status korban dari kelompok Merah menjadi kelompok Kuning. Contoh: pada seorang korban dengan cidera kepala berat dan gangguan jalan nafas akibat posisi kepala yang kurang pas, dilakukan perbaikan posisi kepala dan pemasangan oro-pharyngeal airway sehingga gangguan jalan nafas bisa teratasi.

3. Secondary Assessment to Victim Endpoint ( SAVE ).

Pada keadaan dimana terdapat korban dalam jumlah yang sangat banyak, yang jauh melampaui kapasitas penolong, maka harus dilakukan triase secara cepat dengan tujuan menyelamatkan korban sebanyak-banyaknya. Untuk itu, pada triase dengan metode SAVE, korban dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:

a. Kelompok korban yang diperkirakan akan meninggal, apapun tindakan yang akan diberikan.

b. Kelompok korban yang diperkirakan akan mampu bertahan hidup, apapun tindakan yang akan diberikan ( termasuk tidak dilakukan pertolongan ).

c. Kelompok yang tidak termasuk dalam 2 kategori diatas, yang berarti korban pada kelompok ini keselamatannya sangat tergantung pada intervensi yang akan diberikan. Kelompok inilah yang harus mendapat prioritas penanganan. Selain dari metode diatas, masih ada beberapa metode triase lainnya, yang secara umum mempunyai tujuan yang sama, yaitu menentukan prioritas penanganan korban dengan tepat sehingga dapat diselamatkan korban dalam jumlah sebanyak-banyaknya.

 

Penanganan pra-rumah sakit.

Penanganan fase pra-rumah sakit meliputi penanganan di tempat kejadian, dan penanganan selama transportasi. Ditempat kejadian, pada masa awal situasi pada umumnya belum cukup aman untuk petugas medis sehingga korban harus dipindahkan dahulu ketempat yang aman sebelum dapat diberikan pertolongan medis. Tindakan penyelamatan dan pemindahan korban ini umumnya dilakukan oleh petugas rescue yang memang sudah terlatih dan memiliki kemampuan untuk tugas tersebut. Setelah korban sampai ketempat yang aman, dan dilakukan triase, tindakan medis yang dilakukan pada dasarnya terbatas pada resusitasi dan stabilisasi supaya penderita layak untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan yang sesuai, yang dapat melakukan tindakan definitif. Pelayanan pra-rs ini dapat dilakukan oleh tim bantuan medis yang berbasis di rumah sakit, maupun yang basisnya bukan rumah sakit. Keuntungan dan kerugian dalam operasionalisasi ke dua macam tim tersebut adalah :

– Tim yang berbasis di RS dapat difungsikan untuk keperluan lain selama tidak ada bencana, sehingga penggunaan sumber daya dapat lebih efisien. Kelemahannya adalah bila RS yang menjadi basis juga sedang aktif dalam melayani korban bencana, maka tidak ada lagi sumber daya yang dapat diperbantukan untuk mengaktifkan tim bantuan medis. Dalam keadaan demikian, maksimal yang dapat dilakukan RS adalah mengirim seorang supervisor atau konsultan untuk bertugas diluar. Kejadian seperti itulah yang terjadi di Yogyakarta pasca gempa besar yang terjadi pada tgl 27 Mei th 2007, dimana saat itu Pusbankes-118, suatu jaringan pelayanan gawat darurat pra-rs, tidak bisa aktif dilapangan karena semua rumah sakit yang menjadi basis dari Tim bantuan medis – 118 sedang aktif melayani korban bencana yang jumlahnya melampaui kapasitas.

– Tim yang tidak berbasis di RS, seperti AGD – 118 di Jakarta, dapat beroperasi sendiri tanpa tergantung suatu RS. Kerugiannya adalah bahwa tim seperti memerlukan pendaan khusus yang jumlahnya cukup besar, sehingga harus didukung oleh “sponsor”. Dalam mengaktifasi suatu tim bantuan medis pra-rs, sebaiknya mengikuti suatu pertimbangan sistimatis dan terukur, sehingga tidak in-efisiensi dari penugasan tersebut. Pertimbangan dan informasi yang harus diketahui sebelum mengaktifkan suatu tim bantuan medis adalah:

1. Konfirmasi adanya kejadian bencana atau musibah masal.

2. Tempat kejadian yang tepat.

3. Jenis kejadian / kecelakaan.

4. Ancaman yang ada.

5. Akses menuju lokasi.

6. Perkiraan jumlah, jenis dan tingkat cidera korban.

7. Keberadaan tim lain saat itu maupun yang diperkirakan akan tiba.

Tanpa mengetahui informasi tersebut, bisa terjadi suatu pengiriman tim bantuan medis karena:

– Ternyata tidak ada bencana atau musibah masal.

– Tidak bisa mencapai tempat kejadian.

– Sudah banyak tim medis lain yang tiba lebih dahulu sehingga tidak diperlukan adanya

tambahan tim medis.

– Dll

Penanganan fase Rumah Sakit.

Prinsip dari penanganan di rumah sakit bahwa pelayanan individu harus tetap dipertahankan walaupu dalam keadaan yang tidak normal. Dirumah sakit sendiri penanganan medis dapat berupa:

– Tindakan resusitasi

– Tindakan penyelamatan jiwa

– Tindakan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut ( damage controll surgery )

– Tindakan definitif

– Perawatan

– Pemulihan.

Tidak semua tindakan diatas harus dilakukan dalam masa tanggap darurat. Tindakan definitif bisa ditunda sampai situasi lebih baik supaya penanganan secara individu bisa berlangsung lebih baik untuk mencegah meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Pada kenyataanya, hasil yang dicapai tentu tidak bisa sebaik yang diharapkan, karena situasi dan sumber daya yang ada dalam keadaan bencana umumnya tidak mendukung untuk dilaksanakannya penanganan yang ideal. Oleh karena itu tidaklah tepat bila pencapaian tindakan dalam keadaan bencana dinilai dengan tolok ukur situasi normal. Untuk itu diperlukan suatu standar minimum untuk pelayanan medis selama bencana, sehingga hasil yang dicapai bisa diukur secara lebih obyektif.

sumber: kuliah dr. Hendro Wartatmo Sp.BD (pada blok 4.2 health system and disaster management)

About bayu wijanarko

seorang mahasiswa kedokteran yang sebentar lagi akan masuk koas,, suka bepergian, menikmati perjalanan sambil mendengarkan musik country, ataupun musik lainnya yang berada di top rated ipod saya,, suka tentang alam,binatang, dan fotografi,, suka menyendiri, bukan berarti saya anti sosial, cuma mencari kenyamanan diri sendiri dan bercita-cita menjadi seorang dokter bedah yang hebat!!
This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment